Dear My Ghost - Chapter 1 (Na-neun)





   2 Bulan Kemudian...

   Beberapa musik mengalun bergantian dengan indahnya, mengiringi goresan pensil yang semakin lama akan membentuk sebuah garis lengkung yang menarik nan elok. "Hmm..." Senyum kecutku terlihat jelas pada pantulan kaca kecil yang tergeletak di atas meja. Wajah yang terlihat rapuh, duduk di kursi sembari mencoret-coret selembar kertas polos yang  kuletakkan di atas meja, bisa disebut itu kesibukanku yang seolah tak berguna.

   Putih dan hitam. Tanganku terus menggoreskan pensil dengan batin terus meracau, pikiran melayang terbang terfokus pada khayalan-khayalan yang selama ini ku harapkan menjadi nyata. Apa daya jika khayalan dan impian itu harus terhenti saat ini juga, kembali pada dunia nyata.

   "Wow ... Daebak (keren)!" pekik gadis di sampingku, Sera.

   "Hmm, hanya menggabungkan beberapa variasi dalam desain bajumu. Menurutku itu kurang bagus," jawab ku datar. Dress selutut berwarna hitam dengan kombinasi warna putih pada bagian depan—dari leher hingga perut—pada bagian belakang terdapat pita besar menghiasi, cocok untuk wanita remaja yang bertubuh ramping dan tinggi, dekorasi kecil pun tak tertinggal mengiasinya.

   "Aiissh ... Lee Sang Mun kau selalu saja mengelak. Kenapa kau tidak melanjutkan study tata busana?" ucap Sera sembari mengguncang-guncangkan pundakku, dia selalu berlagak berlebihan.

   "Kau tahu, ucapanmu itu terlalu mendengung di telingaku. Bukankah kau tahu apa keinginanku dan kenyataan sesungguhnya ini. Hmm...," celetukku kesal atas apa yang Sera ucapkan, bahkan ucapan itu terus berulang setiap rancangan baju yang kubuat telah selesai. Gadis ini selalu meminta dirancangkan baju setiap hari, entahlah untuk apa itu.

   "Baiklah, semua akan lebih baik jika kau bisa merubahnya. Beranjak dan buktikan." Sera bergegas berjalan ke arah jendela setelah menatap mataku memberi semangat, matanya menatap lurus-lurus seolah menerawang jauh pada suatu hal.

  "Di ulang tahunmu yang ke tujuh belas beberapa bulan yang lalu, menurutmu hal apa yang paling spesial?"

   "Tidak ada," jawaku singkat. Usiaku memang sangat muda jika dibanding dengan teman-teman yang sudah lulus Sekolah Menengah Atas delapan bulan yang lalu. Dia, bernama Kim Sera—gadis berusia 18 tahun teman seangkatanku. Bertubuh tinggi semampai dengan kulit putih, mata sipit hampir mirip dengan perawakan orang Cina.

   "Ckck, kau ini menganggap semuanya tidak ada yang spesial. Apa teman-temanmu tidak berarti untukmu, hah!"

   "Aiisssh ... Bukan seperti itu, kalian sudah menjadi bagian dari hidupku mana mungkin tidak berarti, tapi, untuk hal spesial itu ...," ucapanku menggantung beberapa menit membuat Sera mematung menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutku, "sepertinya masih belum waktunya."

   Terkadang aku merasa egois, menginginkan sesutu yang abadi nan indah. Terkadang juga merasa semua yang di berikan Tuhan adalah sebuah kebahagiaan seutuhnya walau tidak seperti apa yang diharapkan. Lalu, saat takdir itu sudah menggores cerita, hanya hati yang bisa merasakannya.

   Ketika kau mengetahui jalan tuk mencapai impianmu terhalang, apa yang kau rasakan?

  Kekecewaan, ya hanya itu.

   Pasti kekecewaan yang bergelayut di hati dan pikiran, perasaan yang berkecamuk dan ingin terbebaskan dalam tabir belenggu. Seakan-akan terdapat bayangan yang menghampirimu dan mencelamu seburuk mungkin.

   'Impianmu akan sia-sia, kau tahu itu. Impianmu akan musnah, impianmu tak akan terwujud. Kau lemah, kau bodoh, kau juga bukan siapa-siapa, bukankah itu benar? jadi kau bisa apa atas impianmu itu?' kata-kata itu terus saja terngiang dalam pikiran.

   'Impianmu akan sia-sia, kau tahu itu. Impianmu akan musnah, Impianmu tak akan terwujud. Kau lemah, kau bodoh, kau juga bukan siapa-siapa, bukankah itu benar? jadi kau bisa apa atas impian mu itu'

    Impianmu akan sia-sia! Impianmu tak akan terwujud! Kau lemah, kau bodoh! Kau juga bukan siapa-siapa!'

   "Tidak!!!" gumamku.

   'Impianmu akan sia-sia! Impianmu akan musnah! Impianmu akan sia-sia!'

   "Tidak mungkin!!!" gumamku lagi.

   'Hahahaha...,' tawa sang kegelapan menggema, 'Impianmu akan musnah! Impianmu akan sia-sia! Impianmu akan sia-sia!'

   "Tidaaakk!!!" teriak ku.

   'Impianmu akan sia-sia! Impianmu akan musnah! Hahaha ... Kau bukan siapa-siapa! Impianmu akan sia-sia! Impianmu akan sia-sia!'

   "Tidaaaaaakkkk!!!" teriakku sekeras mungkin agar suara itu hilang. Nihil, suara itu masih terngiang-ngiang tak mau berhenti berputar di otakku, pikiran terus terpusat pada kata-kata cemoohan, melayang-layang menghantui setiap mata ini tertutup--saat terlelap--mencela tak mau berhenti. Tak melihat wajah dan bentuknya, hanya hitam dan gelap. Aku benci gelap … aku benci warna hitam, aku benci keduanya!

   Suara derap kaki melangkah mendekat dimana aku berbaring, segera menutup telinga dan mata serapat mungkin, nihil, masih saja terdengar suara yang mencela tak mau berhenti.

   'Impianmu akan sia-sia! Impianmu akan musnah! Hahaha ... Impianmu akan sia-sia!'

   Kata-kata itu, kenapa dia mencela dan menertawakanku, pikirku. Telapak ini tetap menutup telinga dan mata serapat mungkin.

   "Sang Mun ... hai Sang Mun, apa kau baik-baik saja? Sang Mun ... Sang Mun, hai Sang Mun ... apa kau baik-baik saja, Sang Mun!"

   Seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku hingga terbangun secara kilat, refleks menatap seorang gadis yang duduk di pinggiran kasur tempatku berbaring dengan tatapan khawatir, Sera. Tadi adalah mimpiku yang ke sekian kalinya, mimpi buruk—sangat buruk!

   "Sera," panggilku pelan.

   Yang kupanggil mendekatkan diri memelukku, "Iya Sang Mun."

   "Aku … aku bermimpi buruk lagi." Tak terasa sesuatu membasahi pipi, dan akhirnya semakin deras bagai air bah yang ingin meluap di setiap sudut ruang kosong. Hatiku menolak sebuah kenyataan itu, kenyataan yang pahit, namun selalu saja diri ini gagal menangkis semua yang menghantui. Melepaskan kesedihan yang terus berada pada tabir belenggu tak semudah itu. Apakah sesosok bayangan itu memang benar? Impian ku akan sia-sia, impian ku akan musnah, impian ku tak akan terwujud, aku lemah dan bodoh, aku juga bukan siapa-siapa.


****


   "Sang Mun ... bangunlah.  Hari ini aku ada jadwal kuliah pagi. So, tidak bisa menemanimu jalan-jalan, hai Sang Mun BA-NGUN-LAH," ucap Sera menekankan dan memperkeras kalimat terakhirnya ke arah telingaku, padahal telinga ini mengikuti dari kalimat awal, mengguncang-guncangkan tubuhku yang sedang berbaring di atas kasur padat dan menikmati mimpi yang pastinya tidak mencelaku lagi, harus kurelakan mimpi indah itu pergi karena ulahnya.

   "Hm ... iya, pergilah aku masih mengantuk!" sahutku kesal dengan keadaan mata yang masih terpejam.

   "Baikalah, kau jangan lupa. Tunggu aku di bangku taman bagian belakang Mall seperti biasa, oke!"

   "Hmm ... jam berapa?" tanyaku malas.

   "Jam Sepuluh seperti biasa, cepat BA-NGUN-LAH!" Jemarinya menarik lenganku.

   Sudah tiga tahun delapan bulan kita berteman akrab, semenjak aku pindah dan bertempat tinggal di rumah kos Bibi Can—pemilik rumah kos ini yang kebetulan menjabat sebagai adik kandung Ayah, jadi aku bisa merasa tenang bertempat tinggal di sini, keamanan yang cukup ketat 24 jam non stop membuatku tidak merasa takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.

   Sera teman yang baik dan bisa mengerti apa yang ku rasakan, kadang dia bisa menjadi kakak yang selalu menghawatirkanku dan mengaturku agar lebih baik, kadang dia juga seperti anak kecil, jika keinginannya tidak di turuti. Kita selalu tertawa riang gembira, melewati semua bagaikan kehidupan ini memang benar-benar indah dan selalu ada kebahagiaan saat ada sebuah kesedihan. Namun, suasana berubah terlalu cepat, bagai angin muson yang menggulung dan membawa pergi semua kebahagiaan itu. Saat ini Sera melanjutkan study-nya, berkuliah di perguruan tinggi yang cukup baik dan terkenal. Sedangkan aku, hanya bisa diam meratapi nasib dan menerawang jauh atas mimpi-mimpi buruk. Sera anak seorang pebisnis sukses yang kebetulan bertempat tinggal di rumah kos, jadi dia bisa semaunya memilih-milih dimana tempat yang cocok untuk melanjutkan sekolahnya bahkan sampai ke luar negeri jika ia mau.

   Sedangkan aku...

   Hanya bisa menggoreskan pensil di atas lembar putih tanpa noda, aku hanya gadis yang penuh imajinasi dengan materi-materi tanpa adanya praktik di dunia nyata. Gadis yang selalu berbicara dan menguatkan seseorang saat kehidupannya terguncang namun tak bisa menenangkan diri sendiri ketika hati ini goyah. Bukan siapa- siapa. Benar apa yang di katakan bayangan yang selalu menghantuiku itu, aku bukan siapa-siapa. Bukan Sera, pandai dalam mengobati seseorang yang terluka dan akhirnya dia bermimpi menjadi seorang dokter, ia akan mewujudkannya sekarang. Bukan Sera yang hebat dalam mengolah bahasa aneh saat bertemu orang asing yang berkunjung ke daerah ini. Aku, gadis berharap impiannya menjadi nyata, bukan lagi imajinasi yang hanya terancang di otak, bukan imajinasi yang hanya melayang-layang menghantui. Bukan imajinasi yang selalu membebani.

   Hanya gadis bertubuh kurus tinggi namun lunglai, bermata sipit namun rapuh, berambut lurus, hidung mancung dan kulit putih kusam menandakan sang pemilik dalam guncangan dahsyat, sudah beberapa bulan aku tak mengurus diri, pudar seakan tanpa harapan.

   Aku hannyalah aku, bukan siapa-siapa.



****


   Bola mataku tertancap pada jam di pergelangan tangan yang berwarna putih, 10.02. Sesekali melirik bangku taman paling ujung di belakang. Aiissh... lama sekali Sera, apakah dia lupa dengan janjinya? Sudah kutelefon beberapa kali pun tidak diangkat, gerutuku dalam hati sembari mengantongi ponselku kembali dan mengambil dua minuman Coca-cola di lemari pendingin sebuah Mall tempat yang biasanya kukunjungi bersama Sera. Setelah itu, ku langkahkan kaki menuju taman belakang, begitu banyak orang di sana. Taman itu lumayan besar sehingga bisa menampung ratusan orang, arena bermain pun ada. Terdapat banyak bangku untuk istirahat ataupun tongkrongan para remaja yang kemngkinan kabur dari sekolahnya. Aku terperanjat, ketika melihat seorang pria duduk di bangku tepat berada di bawah pohon sana, dia menunduk seakan sangat rapuh dan hampa. Kenapa pria itu ada lagi? batinku. Setahuku, beberapa hari yang lalu dia juga ada di situ dengan pakaian yang sama dan posisi yang sama, memakai jaket hitam dengan celana jins warna hitam, sepatu kets berwarna hitam.

   "Aiissh, serba hitam," gumamku. Namun sangat disayangkan, aku tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas, dia menunduk tanpa sedikit pun mengangkat atau sekedar melihat-lihat sekitarnya. Siapa dia? misterius, batinku.

   "Hmm mistis juga mungkin, hahaha… mistis, apa yang mistis?" lanjutku bergumam sembari ku susul dengan tawa renyah.

   "Eomma (mama) aku takut, Eonnie (kakak perempuan) itu gila!" suara bocah perempuan di depanku, menunjuk-nunjuk ke arahku berada—yang saat ini terperanjat mendengar opini-nya.

   "Hah, apa … aku gila? hei, enak saja kau!" Ku pelototi anak itu, seketika dia menangis menjadi-jadi.

   "Hei, apa-apaan kau, tidak mengalah dengan anak kecil!" teriak Ajumma (bibi) itu memelototiku balik dan melemparku dengan botol bekas tanpa air.

   "Aduh!"

   Semua mata tertuju padaku. Mereka kira aku artis eoh!

   "Hei, apa-apaan ini, melempar orang sembarangan. Aku bukan tempat sampah!"

   Seseorang menyeret lenganku dengan sekali langkah menjauh dari keramaian. Tercium semerbak wangi yang tidak asing untuk hidungku, tapi ...

   "Hei, siapa kau!" Ku pukul lengan pria yang masih menyeretku.

   "Aiisshh... kau ini. Jika kau terus meladeni Ajumma itu, kau bisa diusir security di sini, apa kau mau? bukankah kau sedang menunggu seseorang hah!" celetuk pria itu yang langsung melangkah pergi tanpa menungguku berbicara apapun.

   "Aiissh ... dasar pria ANEH! bagaimana bisa dia mengetahui jika aku menunggu seseorang. Aah! kenapa hari ini aku bertemu dengan orang yang aneh-aneh," gerutuku kesal sembari memukul kening berkali-kali segera pergi dari tempat itu menuju bangku taman paling pojok hingga jauh dari keramaian agar tak bertemu dengan orang-orang aneh yang lain. Setelah beberapa lama aku menyadari atas kekonyolan tadi, alhasil mulutku tak lagi dapat membendung tawa geli.

   "Hei Sang Mun, apa kau baik-baik saja?" Suara derap langkah kaki semakin mendekat.

   "Tentu baik," sahutku memandang wajah Sera yang baru datang.

   "Benarkah," Sera segera menempelkan punggung telapak tangannya pada kening alih-alih melirik wajahku seolah tak percaya.

   "Hei aku tidak gila!" Teriakku, menghempaskan tangan Sera hingga mengundang gelak tawanya.

   "Siapa tau kau sedang mengalami gejala-gejalanya, haha..." celetuknya yang di susul ketawa yang khas.

   "Aiiiisshh... kau orang ke dua yang mengatakan aku gila hari ini!"

   "Lalu siapa yang pertama?" tanyanya dengan memajukan wajahnya sedikit mendekat.

   "Ah entahlah!" aku mendengus kesal.

   "Hahaha~ padahal aku ingin menjadi yang pertama."

   'PLETAK'

   "Hadiah pertama hari ini, dariku!" ucapku sembari tersenyum setelah selesai mengeloyor kepala Sera.

   "Iih, kau jahat Sang Mun, KAU JA-HAT! " ucap Sera menekankan dan mengeja kalimat terakhirnya membuatku terpingkal-pingkal kemudian dia duduk di sebelahku.

   "Coba kau lihat orang di sebelah sana," sembari ku tunjuk Pria yang duduk di bangku tadi, pria misterius yang beberapa hari lalu aku juga melihatnya seperti itu.

   Semilir angin tak mampu menggerakkan sehelai rambutnya terlebih baju super tebalnya itu, cukup mampu menggerakkan hatiku yang beku ini untuk bertanya-tanya. Wahai pemuda, siapakah kau sebenarnya?

   "Yang mana," ucap Sera heran.

   "Itu, pria yang duduk pada bangku tepat di bawah pohon, memakai jaket hitam. Ah, entahlah itu jaket atau apa pokoknya baju berwarna hitam," jelasku.

   "Aiissh... kau mengada-ada, di sana tidak ada seorang pun. Apa yang kau lihat, hah!" celetuk Sera mulai geram.

   "Ckk... aku tidak mengada-ada Sera," sahutku kesal.

   "Aaah aku tahu, mungkin gejala-gejala itu mulai menyebar ke indra penglihatanmu Sang Mun, haha~" celetuk Sera dan menertawakanku. Aku hanya mendengus kesal dan tak meneruskan pembicaraan.

   Padahal sudah jelas dia duduk di sana karena hanya dia yang ada di tempat itu, tapi kenapa Sera seakan tak melihatnya, siapa dia sebenarnya? Ataukah saat ini Sera mencoba mengelabuiku?







TO BE CONTINUE


Jejak tertulis kalian saya tunggu ^^



SPECIAL GUES TODAY:

1. Janiati
2. FujimaExoL
3. Yui
4. Karin

Komentar

Faranggi Eva Lutvika mengatakan…
akhirnya bisa mampir hehehehe udah lama vacum dari dunia perbloggeran.
Naysahra Purnama mengatakan…
@Faranggi . Makasih sudah mampir. Eh? Vacum? Beneran nih?
Unknown mengatakan…
Akhirny udah ad lgi klanjutan nie ff....
Misterius bngt sih, lalu tt cowok syp, kok sera gk bisa ngeliatny?????
Pneuh tnda? Nih....
Di tnggu klanjutanny
Unknown mengatakan…
Akhirny udah ad lgi klanjutan nie ff....
Misterius bngt sih, lalu tt cowok syp, kok sera gk bisa ngeliatny?????
Pneuh tnda? Nih....
Di tnggu klanjutanny
Naysahra Purnama mengatakan…
Yuhuu maap ya chingu ff nya lama ngadat, betah banget nangkring di note wkwkw
Sabar yapp bacanya, mistery mode on nih jadi bacanya siaga satu rentan bikin prustasi, *heaakk wkwkwk ����
TBC Next Chapter~